Monday, 21 September 2015

BAHASANYA VULGAR. APA ADANYA TAPI KITA WAJIB TAHU

https://www.facebook.com/309778485839317/photos/a.309779932505839.1073741826.309778485839317/559065410910622/?type=1



Barusan nonton Basa Basi di Trans TV. Bintang tamunya Bu Elly Risman. Ngeri sekaligus bikin sedih. Musibah paling bahaya adalah ketika kita ga sadar kalau dalam bahaya besar. Kurang lebih ini kesimpulannya. Untuk para orang tua, silahkan dibaca.
Apa yang beliau paparkan, shocking banget buat para orangtua yang hadir.
Pemaparan awal tentang kesalahan-kesalahan komunikasi orang tua pada anak, bicara terlalu cepat,
bicara terlalu banyak, (ngomel) yang tidak perlu, tanpa sadar berbohong, mengkritik, mengenggurui, dll.
Komunikasi yang salah mengakibatkan anak jadi BLAST. Jiwanya jadi kosong, ga pede, pemarah, dendam sama orang tuanya sendiri.
Beliau ngasih contoh kasus anak kecil yang ngadu ke gurunya, "Bu, kalau aku bunuh ayahku boleh ga? Aku dosa ga?". Ternyata si anak merasa selalu disalahkan dan didikte orang tuanya.
Nah, anak-anak yang BLAST ini adalah sasaran empuk buat pengusaha pornografi karena rata-rata dari mereka pasti akan cari pelampiasan. Sekarang masuk ke bagian industri pornografi. Target market utama mereka adalah anak laki-laki. Kenapa laki-laki? Karena mereka lebih mudah fokus dan hormon testosteron mereka lebih tinggi daripada perempuan. Setiap tahun pebisnis pornografi rapat dengan para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk merencanakan strategi pemasaran yang baru.
Alih-alih mengembangkan produk, mereka memilih untuk 'investasi masa depan' pada anak-anak. Target mereka adalah anak laki-laki yang terpapar pornografi, kalau sudah 33 sampai 35x mast****si berarti sudah bisa dipastikan akan menjadi pelanggan masa depan karena otaknya pasti sudah ketergantungan dengan pornografi (porn addiction).
Yang perlu diketahui, porn addiction jauh lebih merusak otak daripada drugs addiction. Terapinya pun jauh lebih susah. Drug addict bisa diterapi dengan detoxifikasi tapi porn addict harus dengan terapi dan butuh tekad dari yang bersangkutan. Dan kerusakan yang ditimbulkan sekali kita terpapar akan permanen. Paparan pornografi itu berjenjang.
Jadi ibarat sampah, pertama kali mungkin kita akan muntah-muntah nyium baunya. Tapi lama kelamaan, kalau kita nyium sampah (misal tukang sampah) kita akan terbiasa bahkan bisa makan di deket sampah (bahkan ada yang tinggal di TPS tho?)
Begitupun dengan pornografi, setiap levelnya anak akan semakin kebal dan anak butuh melihat yang levelnya lebih tinggi untuk bisa terangsang. Kalau melihat sudah ga 'ngaruh' lagi, mereka akan melakukan. Dan disini bencananya.
Kami dikasih contoh beberapa kasus mengerikan yang pelakunya anak-anak sex addict. Ada audience yang curhat tentang tetangganya, anak kelas 6 SD yang 'ngerjain' adik kandungnya yg berusia 5 tahun. Sekarang si adik malah jadi ketagihan sex.
Ada lagi anak 10 tahun yang menyodomi temennya pake SENDOK! (Ada games yang ngajarin anak-anak untuk menyodomi)
Contoh-contoh mengerikan lainnya. Anak-anak porn addict bisa dikenali. Ada ciri-cirinya. Dan pertanyaan mereka luar biasa.
Kalau anak normal keponya cuman "sex itu apa?". "Bayi itu berasal dari mana?".
Anak-anak porn addict akan bertanya, "Bagaimana cara memasukkan p***s ke dalam v****a?". Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terlalu vulgar.
Bahkan ada istilah-istilah yang audience aja ga tahu itu apa. Kalau anak sudah 33-35x mast****si, hampir bisa dipastikan akan terjadi incest. Atau dia akan melampiaskan pada temennya di sekolah. Dan itu kasusnya BANYAK. Jadi usia 7 tahun saudara laki-laki dan perempuan tidurnya udah harus dipisah. (Tahu kan kasus anak umur 11 tahun yang memperkosa 2 adik perempuan dan IBU KANDUNGnya karena selalu tidur 1 ruangan dengan mereka?)
80% kasus pelecehan terjadi di rumah sendiri/rumah keluarga dekat (rumah nenek pas ngumpul keluarga) dan sekolah. Nah, disitulah bibit awal pedofilia dan LGBT.
Semuanya saling berkaitan.
Sekarang tentang media, film. Terutama yang asalnya dari Amrika yang dicontohkan film Breaking Dawn sama Fifty Shades of Grey. Games-games cowok dan games cewek (The Sims4).
Video klip contohnya Nicky Minaj (yang ngajarin or*l sex) bahkan kata Bu Elly, kalau anak anda disuruh makan sosis malah muntah, berarti dia udah nonton video klipnya dan Miley Ciyrus (wrecking Ball).
Tontonan lainnya ada Glee (udah jelas lah ya misi LGBTnya), komik, spongebob (kami dikasih liat scene spongebob ciuman sama patrick), stiker LINE, K-Pop (diliatin foto 2 cowok K-Pop idol lagi ciuman bibir di panggung) dan situs (ada situs LGBT bahkan untuk anak-anak).
Bu Elly nangis di panggung, beliau curhat sama kami bahwa pemerintah seolah tutup kuping sama kejadian ini. Beliau sudah menawarkan reset dan mendatangi kementerian-kementerian terkait untuk sosialisasi porn awareness. Tapi ga pernah digubris.
UU pornografi pun ga ada penerapannya (kayak ga ada). Bahkan terakhir beliau diskusi dengan Ibu Jokowi tapi yang bikin kecewa justru bersamaan dengan seminar kami, Ibu negara malah kampanye kanker serviks (sudah booming karena si jupe kena).
Ga ngerti implementasinya sampe atau nggak ke masyarakat. Makanya ayo jadi penggerak di unit kerja kita masing-masing. Pemerintah itu seharusnya membentengi masuknya bencana ke Indonesia bukannya memfasilitasi.
Ekspresi harus bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau dibiarin bebas, akhirnya orang jadi liar. Itulah kenapa harus ada aturan. Sebenernya yang pikirannya tertutup justru seniman Indonesia.
Pikirannya hanya terfokus pada gimana sih pemerintah!
Gimana sih umat Islam nih ga kompromis! Padahal harusnya mereka lebih DEWASA dalam berpikir. Ga pragmatis.
Orang Indonesia itu ga semuanya adult. Di sini juga ada anak-anak. Mereka belum ngerti mana yang harus diikuti, mana yang nggak. Di situlah peran kita melindungi mereka.
Kita semua punya tanggungjawab moral. Termasuk seniman.
Hal yang mengejutkan adalah isi sambutan founder salingsapa.com(penyelenggara). Beliau bilang, "Saya punya kenalan beberapa pemilik stasiun tv swasta. Salah satunya yang ada di kebon jeruk. Saya kaget, ternyata rata-rata dari mereka pada ga punya tv. Ketika saya tanya alasannya (sama pemilik stasiun di kobon jeruk), beliau bilang, "Saya sudah tahu bahwa produser itu mengejar rating. Sekarang, program tv itu pure A BUSINESS. Jadi mereka akan menayangkan apapun yang menarik minat masyarakat sehingga rating naik. Kalau rating naik, otomatis iklan berdatangan"
Mereka aja ga membiarkan anak mereka nonton tv. Dan kita masih membiarkan anak-anak kita nonton? Jadi intinya, kita semua punya peran untuk menanggulangi krisis moral di Indonesia. Karena dampaknya jangka panjang dan krusial. Ketika nanti kita jadi pejabat, jadi pengambil keputusan, pelajari baik-baik apa yang mau kita putuskan. Karena tanggungjawab kita besar. Sekarang, tugas kita adalah merintis perubahan positif di unit kerja masing-masing
Ajak diskusi orang-orang yang masih satu visi, orang-orang yang masih punya passion untuk memperbaiki carut-marut negara ini.
Kalimat terakhir paparannya Bu Elly Risman, "Ayo Bergerak Bersama. Lindungi Anak Indonesia dari Bahaya Pornografi".
Sorry, just sharing. Karena kita ga bisa kerja sendiri. Butuh KAMU...
IYA KAMU...
Butuh KAMU buat ikutan. Semoga kita bisa merintis perbaikan. Semoga negeri ini jadi lebih baik nantinya.

Sunday, 13 September 2015

Teaching Empathy Through Design Thinking

http://www.edutopia.org/blog/teaching-empathy-through-design-thinking-rusul-alrubail?utm_source=twitter&utm_medium=cpc
Rusul Alrubail



In an age of creators, makers, and innovators, we hear of the conceptdesign thinking too often. What is design thinking? More importantly, can design thinking help you as an educator in your classroom?
Design thinking is a concept that centers around applying creativity and innovation to our actions, decision making, and problem solving as human beings. More significantly, it focuses on the impact that this creative and innovative thinking has on individuals. As a concept, design thinking can be used pedagogically to enhance our teaching practices. As a tool, it can be used to foster and teach empathy in the classroom.
The core principles of design thinking are to empathize, define, ideate, prototype, and test. Teaching design thinking can be a powerful way of teaching students empathy in that it teaches them how to solve another person’s problems by providing creative and innovative solutions that relate to his or her needs.
To practice this with your students, identify a problem that you will need to solve in your own environment. As a class, you can choose to work on one problem and have students come up with individual solutions, or the students can choose their own problems and work their way toward identifying solutions through the steps below.

1. Empathize

Empathy is the first step in design thinking because it is a skill that allows us to understand and share the same feelings that others feel. Through empathy, we are able to put ourselves in other people's shoes and connect with how they might be feeling about their problem, circumstance, or situation. Some questions to consider:
  • What is the person feeling?
  • What actions or words indicate this feeling?
  • Can you identify their feelings through words?
  • What words would you use to describe their feelings?
These are just some of the guided questions that students can reflect on to identify the problem and how others are feeling about it.

2. Define

The next step is to define the above feelings and identify the main problem to be solved. It's important that, throughout this process, students use language that is identifiable, positive, meaningful, and actionable. Instead of focusing on the negative side of the problem and the lack of options, steer students to using language that is positive, empathetic, and will direct them toward solution-based thinking. Defining the problem is part of the process of shaping a point of view -- our own and others' -- about the problem. Therefore, the framing should inspire the group, the student, or the entire class to find solutions.

3. Ideate

This process is where ideas are generated. Students can learn empathy here when you teach them new and different ways to find solutions to a problem -- there is no single right way for a great idea. Here are a few strategies that you can encourage:
  • Mindmapping
  • Brainstorming
  • Sketchnotes
  • Bodystorming
  • Inquiry.
This process helps students to see things from different perspectives. It allows them to step outside of what they might think is the obvious solution and instead generate ideas outside of their own realm.

4. Prototype

In the prototyping phase, students get to make and create the solution to the problem. Empathy helps them see that they're in the first step in a longer process. A prototype can be changed, altered, re-evaluated, and recreated many times based on the needs of the users (either the students themselves or someone else). This process also helps students to recognize that failing is part of learning, and that it's OK to fail. Failure, however, needs to be analyzed so that we learn and grow from our mistakes. Ask these questions:
  • Why did we fail?
  • What worked?
  • What didn't work?
  • How can we improve to help the user next time?
  • Is this solution feasible? Is it manageable?
  • Are these changes designed with the user in mind?

5. Test

During testing, empathy plays a key role in shaping of the user's experience. Focus on showing and not telling. This helps the users to create their own experiences, and also helps us to identify how to improve their experiences next time. The opportunity for empathizing is important at this stage, because one is able to see the user's experience and hear his or her thoughts, feelings, and ideas. Testing also helps to shape our point of view in relation to the user's point of view.
Design thinking to teach empathy can be applied to many problems that arise in the classroom and help encourage students on solution-based thinking -- a process that concentrates on positivity, feedback, iteration, and empathy. If you're interested in implementing design thinking in your classroom, visit Design Thinking for Educators for some free resources.