Sunday, 11 June 2017

Top 10 Good Parenting Tips

Joluu.com
http://joluu.com/top-10-good-parenting-tips

But if you can keep working on them, even though you may only do part of these some of the time, you will still be moving in the right direction.

#1 MODELING

Walk the walk. Don’t just tell your child what you want them to do. Show them.
Human is a special species in part because we can learn by imitation. We  are programmed to copy other’s actions to understand them and to incorporate them into our own. Children in particular watch everything their parents do very carefully.
So, be the person you want your child to be — respect your child, show them positive behavior and attitude, have empathy towards your child’s emotion — and your child will follow suit.

#2: LOVING

Show your love.
There is no such thing as loving your child too much. Loving them cannot spoil them.
Only what you choose to do (or give) in the name of love can — things like material indulgence, leniency, low expectation and over-protection. When these things are given in place of real love, that’s when you’ll have a spoiled child.
Loving your child can be as simple as giving them hugs, spending time with them and listening to their issues seriously.
Showing these acts of love can trigger the release of feel-good hormones such as oxytocin, opioids and prolactin. These neurochemicals can bring us a deep sense of calm, emotional warmth and contentment, from these the child will develop resilience and not to mention a closer relationship with you.

#3: POSITIVE PARENTING

Babies are born with around 100 billion brain cells (neurons) with relatively little connections. These connections create our thoughts, drive our actions, shape our personalities and basically determine who we are. They are created, strengthened and “sculpted” through experiences across our lives.
Give your child positive experiences. They will have the ability to experience positive experiences themselves and offer them to others.
Give your child negative experiences. They won’t have the kind of development necessary for them to thrive.

#4: BEING A SAFE HAVEN

Let your child know that you’ll always be there for them by being responsive to the child’s signals and sensitive to their needs. Support and accept your child as an individual. Be a warm, safe haven for your child to explore from.
Children raised by parents who are consistently responsive tend to have better emotional development, social development and mental health outcomes. 

#5: COMMUNICATING AND INTEGRATING

Most of us already know the importance of communication. Talk to your child and also listen to them carefully.
By keeping an open line of communication, you’ll have a better relationship with your child and your child will come to you when there’s a problem.
But there’s another reason for communication — you help your child integrate different parts of his/her brain.

#6: REFLECTING

Many of us want to parent differently from our parents. Even those who had a happy childhood may want to change some aspects of how they were brought up.
But very often, when we open our mouths, we speak just like our parents did.
Reflecting on our own childhood is a step towards understanding why we parent the way we do.

#7: YOUR OWN WELL-BEING

Often times, things such as your own health or the health of your marriage are kept on the back burner when a child is born. If you don’t pay attention to them, they will become bigger problems down the road.
Take good care of yourself physically and mentally. Take time to strengthen the relationship with your spouse. If these two areas fails, your child will suffer, too.

#8: NO SPANKING

No doubt, to some parents, spanking can bring about short-term compliance which sometimes is a much needed relief for the parents.
However, this method doesn’t teach the child right from wrong. It only teaches the child to fear external consequences. The child is then motivated to avoid getting caught instead.
Spanking your child is modeling to your child that he/she can resolve issues by violence.
Children who are spanked, smacked or hit are more prone to fighting with other children. They are more likely to become bullies and to use verbal/physical aggression to solve disputes. Later in life, they are also more likely to result in delinquency, antisocial and criminal behavior, worse parent-child relationship, mental health issues and domestic violence victims or abusers.
There are a variety of better alternatives to discipline that have been proven to be more effective, such as Positive Discipline (Tip #3 above) and positive reinforcement.

#9: KEEPING PERSPECTIVE

If you’re like most parents, you want your child to do well in school, be productive, be responsible and independent, enjoy meaningful relationships with you and others, be caring and compassionate, and have a happy, healthy and fulfilling life.
But how much time do you spend on working towards those goals?
If you’re like most parents, you probably spend most of the time just trying to get through the day. As authors, Siegel and Bryson, point out in their book, The Whole-Brain Child

#10: TAKE A SHORTCUT

By shortcuts, I don’t mean shortchanging your child. What I mean is to take advantage of what are already known by scientists.
Parenting is one of the most researched fields in psychology.
Many parenting practices or traditions have been scientifically researched, verified, refined or refuted.

Saturday, 10 June 2017

Belajar Jadi Ayah Generasi Milenial yang Berbahagia

TIRTO.id
https://tirto.id/belajar-jadi-ayah-generasi-milenial-yang-berbahagia-b4KH?utm_source=Twitter&utm_campaign=Midnight&utm_medium=Social
Reporter: Nuran Wibisono

Belajar Jadi Ayah Generasi Milenial yang Berbahagia
Ilustrasi [Foto/Free Pic]

Keseimbangan hidup untuk mencapai kebahagiaan jadi hal penting bagi mereka. Hari ini, diperingati sebagai hari ayah, dan para ayah milenial tentunya juga ingin terus memberikan kebahagiaan kepada anak dan istrinya.

tirto.id - Arif Budiarto memulai hari kerjanya sama seperti kebanyakan kelas pekerja lain. Pukul 5 pagi dia bangun. Kemudian bermain dengan anaknya yang baru berusia 8 bulan. Mandi, sarapan, dan pukul 6 dia dan istrinya sudah di atas motor, menuju Jakarta, sekitar 30 kilometer dari rumahnya di kawasan Sawangan, Depok.

Budi, panggilan akrabnya, juga mengakhiri hari dengan sama. Kalau tak ada lembur, pukul 5 sore dia sudah bisa meninggalkan kantor. Kalau lembur, jam 9 baru bisa pulang. Kalau tak ada lembur, maka dia pulang bareng dengan sang istri. Tapi Rere, istrinya, juga bukan tipe perempuan yang harus dijemput. Dia sudah terbiasa dengan hidup keras ala Jakarta. Kalau suaminya harus lembur, maka dia pulang sendirian.

Ketika akhir pekan tiba dan tak ada acara, mereka akan menghabiskan waktu di rumah. Bermain bersama anak. Budi juga bukan tipikal lelaki patriarkis. Dia adalah tipe ayah generasi milenial yang memahami pembagian kerja yang sama dan setara antara suami istri. Sering, Budi yang memasak sedangkan Rere membersihkan rumah. Atau Rere yang menyetir mobil, sementara Budi menggendong Arka, sang buah hati hingga tertidur di jok belakang.

Ayah generasi milenial kerap mempunyai pandangan yang menarik sekaligus berbeda terhadap nilai-nilai dalam keluarga. Di Indonesia, pembagian peran yang sering terlihat dan dianggap paling "normal" adalah: suami mencari uang, istri mengasuh anak dan mengerjakan tugas domestik.

Tapi Budi, sebagai salah satu ayah generasi milenial, jauh dari pembagian kerja seperti itu. Dia tidak merasa berat mengerjakan tugas seperti memasak, cuci piring, atau membersihkan popok anak.

"Aku juga terbantu karena di keluargaku selalu diajarkan untuk mandiri. Jadi meskipun sudah punya istri dan anak, aku tak merasa apa-apa harus dilayani," kata Budi.
Belajar Jadi Ayah Generasi Milenial yang Berbahagia
Budi adalah satu dari jutaan ayah generasi milenial yang ada di dunia. Ayah dari generasi ini banyak yang mewakili nilai-nilai baru dalam keluarga. Beberapa waktu lalu, empat peneliti dari Boston College Center for Work & Family mengadakan penelitian tentang ayah generasi milenial. Hasilnya memang lumayan mengejutkan. Ada banyak sekali nilai-nilai keluarga generasi sebelumnya yang sudah mulai diabaikan, atau ditinggalkan sepenuhnya.

Misalkan tentang menjadi jadi bapak rumah tangga. Sekitar 51 persen ayah generasi milenial mengatakan mereka tak masalah menjadi bapak rumah tangga kalau pasangan mereka bisa menghasilkan uang yang cukup. Tentu nilai seperti ini nyaris asing bagi generasi sebelumnya, di mana menjadi bapak rumah tangga kerap dipandang sebagai "aib" karena tak mampu atau mau bekerja.

Dalam mencari pekerjaan, para ayah generasi milenial juga tidak hanya sekadar mencari gaji. Yang paling dipertimbangkan adalah kesempatan perkembangan karir. Sekitar 83 persen ayah generasi milenial menganggapnya amat penting atau sangat penting. Gaji malah ada di bawah kriteria tentang keseimbangan antara kerja dan kehidupan sosial. Sekitar 75 persen ayah generasi milenial menganggap keseimbangan kerja sebagai kriteria yang amat penting. Sedangkan hanya 74 persen ayah milenial yang menganggap gaji itu penting.

Budi juga merasakan hal yang sama. Di satu sisi, dia menyukai pekerjaannya. Tapi gajinya dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan. Namun, dia juga mencintai pekerjaannya karena memberikan keseimbangan kerja yang terjaga. Ini artinya, jadwal kerjanya tertata. Ada dua hari libur dalam seminggu. Ada jatah cuti yang cukup panjang, plus jatah libur tahunan. Dia tak kesusahan membagi waktu antara kerja dan keluarga, juga kehidupan sosial.

"Jadi hari Sabtu dan Minggu aku pasti menghabiskan waktu bersama keluarga atau keluar ramai-ramai bareng teman," kata Budi.

Hal ini juga sejalan dengan banyak ayah generasi milenial. Sekitar 60 persen mengaku mereka setuju bahwa membagi waktu antara kerja dan kehidupan personal itu mudah. Hanya sekitar 19 persen saja yang kesusahan membagi waktu. Ini berkaitan dengan sistem kerja yang mereka pilih.

Tirto.id pernah menuliskan tentang pekerjaan generasi milenial. Sebagian besar dari generasi ini menyukai pekerjaan yang fleksibel. Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa mereka pun paham bahwa generasi milenial amat berbeda dari generasi sebelumnya. Yang mereka cari bukan sekadar gaji besar, melainkan juga kebahagiaan yang bisa dicapai dengan kombinasi antara: gaji pantas, kerja berbasis target juga prestasi dan bukan absensi, ditambah dengan adanya waktu untuk kehidupan personal.

Kehidupan yang seimbang ini menghasilkan ayah-ayah yang merasa berbahagia. Budi, meski di satu sisi masih berambisi untuk mengembangkan karir dan mengejar gaji yang lebih besar, dia merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Dia punya istri dan anak yang sangat disayanginya. Kehidupan kerjanya menyenangkan dengan banyak keuntungan kerja. Plus, dia tidak kesusahan mencari waktu untuk menjalani kehidupan sosial, baik bersama keluarga ataupun teman.

Meski bahagia, tak bisa diingkari kalau kebanyakan ayah generasi milenial masih mengalami konflik antara keinginan untuk menjadi ayah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, dan keinginan untuk mengembangkan karir.

"Sebagian besar lelaki mengalami konflik ini. Tapi hal ini juga sudah dialami kebanyakan ibu yang juga wanita karir, yang pasti kerap bertanya: apakah aku bisa mencapai karir sekaligus punya waktu yang lebih banyak bersama keluarga?"

Yang perlu diperhatikan adalah ayah-ayah yang berada dalam golongan "conflicted". Ini adalah kutub tengah antara ayah tradisional (yang menginginkan istrinya lebih sering di rumah dan mengurus pekerjaan domestik) dan ayah egalitarian (yang menganggap pekerjaan rumah tangga seharusnya dikerjakan bersama. Ayah tradisional dan ayah egalitarian ini memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi ketimbang ayah yang berkonflik. Ayah yang berkonflik ini sebenarnya ingin mengambil bagian dalam pekerjaan domestik, tapi merasa enggan mengerjakannya.

"Maka penting supaya ayah yang punya konflik ini mencari jalan keluar terbaik, karena jelas-jelas konflik itu memengaruhi kebahagiaannya, dan kebahagiaan pasangannya," tulis para peneliti dari Boston itu.